Handuk dilipat seperti bentuk bunga. Walaupun cuma 2 orang kami diberi 4 buah handuk. Kalau ini kayaknya biasa ya, banyak hotel juga memberi handuk lebih dari 1 untuk tiap orang. Dalam konteks pelestarian lingkung, apakah ini bisa diterima ya? Mencuci 4 handuk kan butuh Rinso lebih banyak daripada nyuci 2 buah handuk. Apalagi kalau mengingat keesokan harinya kami sudah check out, artinya cuma akan dipake malam hari dan mandi pagi keesokan harinya. Tiba-tiba kok jadi inget adek yang ngga pernah mau pake handuk hotel walaupun bersih sekalipun.
Seperti biasa, mereka menyediakan 6 buah bantal. Itu belum termasuk 6 buah bantal di sofa. Apartemen ini memang demen banget sama bantal.
Selama di sana hanya dua kali kami makan serius (maksudnya bukan makan menu warteg. he..he..he..) yaitu hari kedua makan siang di Chinese restaurant tapi kok ya kebetulan rasanya kurang nendang (mungkin karena murah kali ya) dan hari ketiga makan siang beef stroganof dan omelet di Old Town. Itu saja omeletnya kurang begitu enak. Jadi malam terakhir di Prague kami putuskan untuk makan di luar dengan menu serius. hi..hi..hi..
Kami pergi ke sebuah restaurant yang letaknya tidak jauh dari apartemen. Kami dikasih daftar menu yang selain ditulis dengan bahasa Czech juga dengan bahasa Inggris. Waktu itu Leo pesen halibut fish sedangkan aku pesen Czech traditional food (sirloin beef dengan dumplings).
Selama menunggu pesanan kami datang, aku melihat sekeliling. Restoran diterangi oleh lampu bolam, pokoknya warna lampu yang mengarah ke warna sinar lilin daripada warna neon putih. Mungkin warna lampu yang membuat resto tersebut terkesan elegant. Pelayan restonya juga ramah, menambah nilai plus resto tersebut.
Sudah banyak orang di sana sebelum kami datang. Yang aku ngga sreg dengan suasana di sana adalah tidak ada pemisahan antara non smoking dan smoking area. Ini yang menyebabkan kenikmatan makan berkurang. Ternyata di Prague (paling tidak waktu itu), pengunjung restoran boleh merokok. Bahkan pemilik restoran menyediakan asbak di setiap meja. Berbeda dengan di Belanda, orang tidak boleh merokok di restoran.
Setelah beberapa lama, pesanan kami tiba. Gambar di bawah ini adalah pesenannya Leo: Ikan halibut dengan udang di atasnya. Leo bilang enak dan ikut nyicipin sedikit. Memang enak, ikannya mateng tapi tetap moist, sausnya bikin rasanya makin jos.
Terus terang aku ngga tahu, yang aku makan dumplings biasa atau bread dumplings. Waktu itu ngga mikir ke sana, wong juga ngga tahu kalau ada dua macam dumpling. Yang penting enak, apalagi sudah lapar. he..he..he.. Yang pengin tahu cara pembuatannya, silahkan cari resepnya di internet ya. Ada juga videonya di youtube.
Ketika aku sedang menikmati makananku, Leo bilang:
"You have to finish your food......Somebody has to die because of you...."
Lha yang mau ngga ngabisin makanan juga siapa, wong enak. Dia sendiri kan makan ikan to, artinya kan ada makhluk hidup lain has to die juga.....Tapi terus terang kata-kata Leo membuat aku merasa bersalah karena nyawa seekor sapi harus hilang karena aku memakan dagingnya. Hiks....Leo dan aku memang termasuk orang yang ngga suka membuang makanan, banyak orang susah kok buang makanan. Apalagi kalau makan daging (atau bahkan teri) kami berusaha menghabiskan supaya mereka tidak mati sia-sia.
Setelah selesai makan, kami membayar. Total damage: 600 Kc atau sekitar 24 Euro (sebetulnya 581 Kc tapi sisanya untuk tips). Menurut kami harga segitu lebih murah daripada harga di Belanda karena untuk makan luar di resto Belanda dengan kualitas yang sama, paling ngga kita harus merogoh kocek 25 Euro per orang. Harga di resto ini menurut kami juga relatif lebih murah bila dibandingkan dengan harga resto yang kami kunjungi di old town pada hari sebelumnya. Paling tidak kualitasnya jauh lebih bagus, porsinya juga lebih gede.
Kami kemudian balik lagi ke apartemen. Sebelum masuk apartemen, kami membuat potret di depan apartemen. Sebetulnya potret tersebut sudah pernah aku upload pada part 2 sebelumnya karena waktu itu aku ingin menunjukkan lingkungan apartemen.